Senin, 25 Mei 2015

Syaiful Yana :PEMIKIRAN KALAM ULAMA MODERN (Syekh Muhammad Abduh)



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Preiode modern merupakan zaman kebangkitan Islam, lebih tepatnya setelah berakhirnya Ekspedisi Napolion (1801 M.). Kejadian ini telah membuka mata dunia umat Islam, terutama umat Islam di Turki dan Mesir yang sudah lama mengalami kemunduran dan kelemahan umat Islam dibandingkan dengan kemajuan dan kekuatan dari barat. Dimasa ini raja-raja dan pemuka-pemuka muslim mulai berfikir dan mencari jalan untuk mengembalikan balance of pawer yang telah pincang dan membahayakan keberadaan Islam dimasa itu. Kita ketahui dimasa Rasulullah dan para sahabatnya (periode kelasik) dimana Dunia Islam sedang naik dan Dunia Barat sedang dalam kegelapan.
Datangnya periode modern ini para raja dan dan pemuka-pemuka Islam mulai berfikir dan mencari cara bagaimana mengembalikan keeksistensian Islam dan membuat Umat Islam maju kembali seperti dimasa kelasik. Usaha-usaha kearah ini pun mulai dijalankan dalam kalangan Umat Islam dan tidak bisa dipungkiri juga Dunia Barat terus bertambah kemajuannya.
B.     Pemikiran Islam Sebelum Priode Modern
Harun Nasution dalam bukunya menyatakan, secara garis besar, sejarah Islam dapat dibagi menjadi tiga periode, yaitu: Periode Klasik (650-1250 M), Periode Pertengahan (1250-1800 M) dan Periode Modern (1800 M s.d. sekarang).[1]
1.      Periode Klasik(650-1250 M)
Dalam perjalanan sejarahnya, pada Periode Klasik menggambarkan masa kejayaan dan keemasan, baik itu dari segi wilayah, ilmu pengetahuan dan kebudayaan, serta pada zaman ini juga lahir ulama-ulama besar.
Pada zaman klasik, para ulama melakukan gerakan ilmiah atau keilmuan dalam lingkup pada ilmu pengetahuan, diantaranya :
a.       Melaksanakan ajaran Al-Qura’an untuk banyak menggunakan akal.
b.      Melaksanakan ajaran hadis untuk menuntut ilmu bukan hanya ”ilmu agama” tetapi juga ilmu non agama.
c.       Mengembangkan ilmu agama dengan berijtihad (menghasilkan ulama fikih, tauhid, tafsir, hadis) dan mengembangkan ilmu pengetahuan atau sains (menghasilkan ilmu kedokteran, matematika, kimia, fisika, geografi, dll).[2]
2.      Periode Pertengahan(1250-1800 M)
Gerakan ilmiah atau keilmuan dari para ulama pada masa ini menurun drastis, ini di sebabkan :
a.  Para ulama tidak lagi melakukan ijtihad.
b.  Menganggap pemakaian akal yang dianjurkan Al-Qur’an telah lewat masanya.
c.  Menerima apa saja yang dihasilkan oleh ulama klasik.
d. Sudah banyak bergantung pada kesultanan.
e.  Pengetahuannya terbatas pada ilmu agama saja.[3]
3.      Periode Modern(1800 M s.d. sekarang)
Pada masa ini, kerajaan Turki Usmani(adikuasa pertengahan) mengalami kekalahan dalam peperangan di Eropa dan gebrakan  yang dilakukan Napoleon dalam penaklukan Mesir hanya dibutuhkan tiga minggu.[4]



C.    Sub Pembahasan
Pemakalah dalam kesempatan ini akan memaparkan pemikiran ulama modern. Untuk mempermudah dalam pemahaman dari pemikiran ulama modern, pemakalah mengambil dari salahsatu tokoh ulama modern, yaitu Muhammad Abduh, adapun sub pembahsannya adalah :
1.      Bagaimana riwayat hidup tentang Muhammad Abduh.
2.      Bagaimana pemikiran kalam Muhammad Abduh.
3.      Bagaimana pengaruh pemikiran Muhammad Abduh.


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Riwayat Hidup Muhammad Abduh
Muhammad Abduh lahir pada tahun 1849 M, di suatu desa di Mesir Hilir.[5] Muhammad Abduh termasuk keluarga petani sedang, ia memiliki 40 feddan(bahu).[6] Ayahnya bernama Abduh Hasan Chairullah, kampung Nasr, daerah Subrakhit, dari propinsi Buhairah (Mesir bawah).[7] Menurut riwayat, karena tindakan-tindakan penguasa negerinya, Abduh Hasan Chairullah meninggalkan kampung halamannya dan menuju propinsi Gharbiah, disana bertemu dengan Junainah[8] lalu menikah, dari pernikahan ini lahirlah Muhammad Abduh.
Muhammad Abduh pada usia dini sudah belajar menulis dan membaca, dalam kurun waktu dua tahun ia telah hafal Al-Qur’an yang pada masa itu beliau berusia 12 tahun, kemudian pada tahun 1862 M. ia melanjutkan pendidikannya ke Tanta di Masjid Syekh Ahmadi.[9] Selama dua tahun Abduh belajar bahasa arab, nahu, sarf, fiqih dll, akantetapi Abduh menyatakan dalam buku Pembaharuan Dalam Islam mengatakan :
“Satu setengah tahun saya belajar di Masjid Syekh Ahmad dengan tidak mengerti suatu apapun, ini adalah karena metodenya yang salah, guru-guru mulai mengajak kita dengan menghafal istilah-istilah tentang nahu atau fiqh yang tidak kita ketahui artinya dan guru-guru tidak merasa penting apakah kita mengerti atau tidak arti istilah-istilah itu.”[10]
Metode yang diterapkan pada masa itu adalah metode menghafal luar kepala. Karena tidak puas dengan metode ini Abduh meninggalkan pendidikannya dan pergi ketempat salahsatu pamannya, tetapi karena dorongan dari paman ayahnya Syekh Darwis Khadar, Muhammad Abduh melanjutkan pendidikan hingga selesai pelajarannya di Thanta.[11] Pada tahun berikutnya ia melanjutkan pendidikannya ke Al-Azhar pada tahun 1866 M. dan bertemu dengan Jamaluddin Al-Afghani tahun 1869 M., pada tahun 1871 M, Abduh berhubungan dengan Jamaluddin al-Afghani, untuk kemudian menjadi muridnya yang setia.[12] Karena pengaruh gurunya, ia terjun ke dalam bidang kewartawanan(surat kabar) tahun 1876 M.[13]
Setelah selesai pendidikan di Al-Azhar, dengan mendapat ijazah “Alimiyyah ia diangkat menjadi guru  di Darul ‘Ulum.[14] Akan tetapi tahun 1879 M. Al-Afghani dituduh melakukan gerakan menentang Khedewi Tawfik[15] dan Abduh dipandang ikut terlibat, ia dibebaskan dari jabatannya itu dan dikirim ke kampung halamannya, sedangkan Jalaluddin sendiri di usir dari Mesir.[16]
Pada tahun 1880 M. Abduh dipanggil kembali ke kota dan kemudian diangkat menjadi redaktur surat kabar resmi pemerintah Mesir “al- Waqai’ ul-Misriyah” (peristiwa-peristiwa di Mesir).[17] Akibat pemberontakan Urabi Pasya (pemimpin perwira militer dan golongan nasionalisme Mesir) telah mengakhiri kegiatan Syekh Muahmmad Abduh, karena dalam gerakan ini Abduh ikut berperan sebagai penasehat dan pada akhir tahun (1882 M). Abduh diasingkan ke luar negri.[18] Pada awalnya Abduh pergi ke Beirut kemudian pada awal tahun 1884 M, ia pergi ke Perancis dan disana ia bertemu lagi dengan Jamaluddin al-Afghani dan di sini mereka membangun kembali sebuah organisasi yang kemudian menerbitkan majalah Al-Urwah Al-Wusqa.[19] Pada tahun 1885 M, Abduh pergi kembali ke Bairut dan mengajar di sana dan pada tahun 1888 M. atas usaha teman-temannya Abduh diperbolehkan kembali ke Mesir dan dipekerjakan jadi hakim, pada tahun 1894 M. Abduh diangkat menjadi anggota Majlis A’la dari Al-Azhar dan pada tahun 1899 M. ia diangkat sebagai Mufti Mesir hingga beliau meninggal(tahun 1905 M.).[20]
B.     Pemikiran Muhammad Abduh
Walaupun pada saat itu Abduh diserang oleh orang-orang yang memandang bahwa pembaharuan dan pendapat-pendapatnya membahayakan kaum Muslim (penentangan yang dilakukan sebelum pembaharuan dilaksanakan), Abduh tetap teguh akan pendiriannya dan beralasan bahwa sebab kemunduran Islam adalah umat Islam masih mengadopsi faham jumud,[21] Abduh juga berkeyakinan kuat bahwa apabila al-Azhar diperbaiki, kondisi kaum Muslimin akan membaik. Menurutnya, apabila Al-Azhar ingin diperbaiki, pembenahan administrasi dan pendidikan di dalamnya juga harus dibenahi, kurikulum diperluas, sehingga al-Azhar bisa berdiri sejajar dengan universitas-universitas lain di Eropa dan menjadi pelita bagi kaum Muslimin pada zaman modern.
Adapun pemikiran pembaharuan Muhammad Abduh, sebagaimana ditulis oleh Harun Nasution dalam bukunya bahwa ada empat segi-segi yang pokok dalam pemikiran pembaharuan Muhammad Abduh, yaitu : 1). Segi Politik dan Ketanah Airan, 2). Kemasyarakatan, 3). Aqidah dan 4). Pendidikan dan Bimbingan Umum.[22]
1.    Segi Ketanah Airan dan Politik
a.      Arti Tanah Air
Muhammad Abduh menggariskan kedudukan tanah air dengan adanya hubungan erat dari seseorang warga negara dengan tanah airnya. Ada tiga hal yang mengharuskan seseorang cinta dan mempertahankan tanah airnya, yaitu sebagai berikut :
1)      Sebagai tempat kediaman yang memberikan makanan, perlindungan, dan tempat tinggal keluarga dan sanak saudara.
2)      Sebagai tempat memperoleh hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang kedua-duanya menjadi poros (dasar) kehidupan politik.
3)      Tempat mempertalikan diri dimana seseorang akan merasa bangga atau terhina karenannya.[23]
b.      Politik(Prinsip Demokrasi dan Pemerintahan)
Sejarah Islam menjadi bukti, betapa kuatnya demokrasi yang dipegang oleh kaum muslimin pada masa-masa pertama Islam, sebagaimana yang dilakukan oleh Khalifah Umar ra. dan kaumnya, ketika ia berkata di hadapan mereka :
Umar berkata : “wahai kaum muslimin, barang siapa melihat suatu penyelewengan dari diriku, hendaklah ia meluruskannya”. Maka berdirilah seorang dari mereka seraya berkata : “Demi Tuhan, kalau kami dapati pada diri Tuan suatu penyelewaengan, maka kami akan luruskan dengan pedang kami”. Berkatalah Umar ra : “Alhamdulillah, Tuhan telah menjadikan diantara kaum muslimin orang yang sanggup melurudkan penyelewengan Umar dengan pedangnya”.[24]

Muhammad Abduh berasumsi, kalau prinsip demokrasi menjadi kewajiban bagi rakyat dan penguasa, maka kewajiban pemerintah terhadap rakyat ialah memberi kesempatan seluas-luasnya bagi rakyat untuk bekerja dengan bebas dan dengan cara yang benar. Begitu pula bagi rakyat, rakyat harus patuh dan setia pada pemerintah, sebab kemajuan atau kemunduran suatu Negara tergantung peran antara pemerintah dengan rakyatnya.[25]
2.    Segi Kemasyarakatan
Dalam segi kemasyarakatan ia membicarakan dua hal, yaitu:
a.      Jiwa Bersama.
Menurut Abduh, jiwa bersama dalam suatu umat harus diperkuat, sebaliknya jiwa individualisme harus dikikis habis, jalannya tidak lain hanyalah pendidikan yang didasarkan atas ajaran-ajaran Islam, sebagai pendidikan yang benar, ini dikarnakan penyebab kelemahan umat tidak lain karena kemiskinan(kelemahan) jiwa manusia yang rasa keangkuhan (egoisme) yang merajalela dan rusaknya arti bersama pada jiwa seseorang serta bimbingan yang salah terhadap akal pikiran bukan karena tanah Mesir atau langitnya, bukan pula tabiat alam(geografi).[26]
b.      Kelemahan-Kelemahan Masyarakat Mesir
Muhammad Abduh membicarakan kelemahan-kelemahan masyarakat Mesir, yang sedikit banyaknya menjadi kelemahan masyrakat Islam dunia timur. Ada lima kesalahan-kesalahan masyarakat Mesir, yaitu :
1) Pembicaraa-pembicaraan masyarakat Mesir menjadi tanda adanya salah pengertian terhadap hidup, tidak ada kesungguhan karena salah pendidikan dan tidak ada perhatian terhadap akhlak.
2) Perkawinan dipandang oleh Muhammad Abduh suatu keharusan sosial, pilihan dalam pernikahan sesuai tabiat manusia, sebagai makhluk yang berfikir, yang mempunyai kecondongan naluri untuk mengadakan kerja sama dengan orang yang disukainya.
3) Ia juga menyebutkan tentang bid’ah-bid’ah dan sampai dimana bid’ah ini menunjukan penyelewengan dalam akidah. Diantaranya adalah ziarah ke kubur wali-wali.
4) Ia mencela keras main suap (risywah) yang dipandangnya sebagai tanda kemerosotan akhlak dan kehilangan rasa akan kewajiban.
5) Acuh tak acuh terhadap kepentingan umum juga mejadi noda masyarakat Mesir dan masyarakat Islam pada umumnya.[27]
3.    Segi Akidah.
Dua hal yang di paparkann dalam sesi ini, yaitu:
a)      Akidah Jabariah
Muhammad Abduh memandang pengabdian diri secara mutlak terhadap madzhab-madzhab dan kitab-kitab yang sekarang pada masa-masa akhir Islam tidak saja bertalian dengan lemah kepribadian keilmuan pada masanya dan tidak sejalan dengan kepribadian Islam yang pertama dalam langkah-langakah positif dan baik terhadap Al-Qur’an dan As-Sunnah, tetapi juga berhubungan erat dengan akidah/paham Jabar.[28]
Akidah Jabar pada hakikatnya hanya bisa hidup atas penghapusan kepribadian dan wujud diri sendiri, meskipun seharusnya penghapusan ini hanya terjadi dalam hubungan dengan Tuhan saja, tetapi karena kelemahan pribadinya ia menganggap bahwa penghapusan tersebut juga berlaku dalam hubungannya dengan sesama makhluk. Akibatnya bukan saja seseorang merasa lemah di depan Tuhan, tetapi juga lemah di depan orang lain.[29]
Muhammad Abduh tidak puas kalau kepercayaan seorang mukmin adalah kepercayaan Jabar, sebab kepercayaan ini sudah barang tentu akan mengakibatkan kelemahan manusia dan menyebabkan ia kehilangan daya kreasi dan posisi dalam hidupnya. Karena itu Muhammad Abduh menentang paham Jabar dan menyerukan paham Ikhtiar, agar seorang Muslim menjadi orang yang kreatif.[30]
b)      Hubungan Akal dengan Wahyu.
Pendapat Muhammad Abduh sama dengan pendapat Ibnu Rusyd dan dengan pendapat Ibnu Taimiah, yaitu :  bahwa wahyu mesti sesuai dengan akal.[31] Pendapat ini sebagaimana dikutip dari buku Hanafi, sebagai berikut :
“Al-Qur’an memerintahkan kita untuk berfikir dan menggunakan akal pikiran tentang gejala-gejala alam yang ada di depan kita dan rahasia-rahasia alam yang mungkin ditembus, untuk memperoleh keyakinan tentang apa yang ditunjukan Tuhan kepada kita. Al-Qur’an melarang kita bertaqlid, sewaktu menceritakan tentang umat-umat yang terdahulu yang dicela karena mereka merasa cukup mengikuti nenek moyangnya. Taqlid adalah sesuatu kesesatan yang dapat dimengerti kala terdapat pada hewan, akan tetapi tidak pantas sama sekali pada manusia.[32]

4.    Segi Pendidikan dan bimbingan Umum
Sebagai seorang pembaharu (modernis). Ide dan pemikiran  Muhammad Abduh mencakup dalam berbagai bidang. Menurut al-Bahiy, pemikiran Abduh meliputi ; segi politik dan kebangsaan, sosial kemasyarakatan, pendidikan, serta akidah dan keyakinan, tetapi walaupun pemikirannya mencakup berbagai segi, namun bila diteliti dalam menggagas ide-ide pembaharuannya, Abduh lebih menitikberatkan pada bidang pendidikan.[33]



Di antara pemikirannya tentang pendidikan dapat dilihat pada penjelasan dan history sebgai berikut :
a.       Sistem dan Struktur Lembaga Pendidikan.
Dalam pandangan Abduh, ia melihat bahwa semenjak masa kemunduran Islam, sistem pendidikan yang berlaku di dunia Islam lebih bercorak dualisme. Bila diteliti secara seksama, corak pendidikan yang demikian lebih banyak dampak negatif dalam dunia pendidikan.[34]
b.      Kurikulum Sekolah Dasar.
Ia beranggapan bahwa dasar pembentukan jiwa agama hendaknya sudah dimulai semenjak kanak-kanak. Oleh krena itu, mata pelajaran hendaknya dijadikan sebagai intu semua mata pelajaran.[35]
c.       Kurikulum Sekolah Menengah dan Sekolah Kejuruan.
Ia mendirikan sekolah menengah pemerintah untuk menghasilkan tenaga ahli dalam berbagai bidang administrasi, militer, kesehatan, perindustrian dan sebagainya. Melalui lembaga pendidikan ini, Muhammad Abduh merasa perlu untuk memasukan beberapa materi, khususnya pendidikan agama, sejarah Islaml, dan kebudayaan Islam.[36]
C.    Pengaruh Muhammad Abduh Di Dunia Islam
Pendapat Muhammad Abduh tersebut di Mesir sendiri mendapat sambutan dari sejumlah tokoh pembaharu. Murid-muridnya seperti Muhammad Rasyid Ridha meneruskan gagasan tersebut melalui majalah al-Manar dan Tafsir al-Manar. Kemudian Kasim Amin dengan bukunya Tahrr al-Mar’ah, farid wajdi dengan bukunya Dairat al-Ma’arif, Syekh Thahtawi Jauhari melalui karangannya Al-Taj al-Marshuh bi al-Jawahir al-Qur’an wan al-Ulum.[37]
Pemikiran Muhammad Abduh tentang pendidikan dinilai sebagai awal dari kebangkitan umat Islam awal abad ke-20. Pemikiran Muhammad Abduh yang disebarluaskan melalui tulisannya di majalah Al-Manar dan al-Urwat al-Wustqa menjadi rujukan para tokoh pembaharu dalam dunia Islam, hingga diberbagai negara Islam muncul gagasan mendirikan sekolah-sekolah dengan menggunakan kurikulum seperti yang dirintis Muhammad Abduh.



BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan uraian diatas kami dapat menyimpulkan bahwa, Syekh Muhammad Abduh adalah salah satu orang yang memberikan penghargaan tinggi pada kekuatan akal. Meskipun demikian, ia tetap memandang penting fungsi wahyu bagi akal. Konsep teologi yang demikian itu berakibat pada keyakin, ia berkeyakinan bahwa manusia itu mempunyai kebebasan berfikir dan berbuat. Salah satu buktinya, dia menentang keras terhadap taklid. Kemudian Muhammad Abduh juga mempunyai ide-ide yang brilian dalam bidang pendidikan. Ia menginginkan adanya perubahan terhadap pendidikan demi kemajuan umat Islam. Usaha kerasnya untuk merealisasikan idenya itu, tak jarang menemui tantangan dari umat Islam itu sendiri. Ini juga terbukti yakni terjadinya perubahan kurikulum yang mana Muhammad Abduh memasukan Ilmu-Ilmu Barat, yaitu Ilmu Filsafat, logika dan juga Ilmu Pengetahuan Modern. 
Bukan hanya itu, Muhammad Abduh adalah orang yang menentang tentang keyakinan Jabariah, yaitu hanya merasa lemah, baik kepada Tuhan ataupun orang lain. Karena menurutnya bahwa kita manusia harus berikhtiar, harus mempunyai jiwa kreatif.
Dengan demikian, sikap rasional yang digagas Muhammad Abduh sangat diperlukan untuk kemajuan Islam, sebagaimana kemajuan yang telah terjadi di masa lampau.
 mudah-mudahan bahasan ini ada manfaatnya bagi para pembaca...



DAFTAR PUSTAKA
Hanafi, Pengantar Teologi Islam, (Jakarta : PT. Pustaka Al Husna Baru, 2003)
Haruen, Nasrun, Abdul Azis Dahlan, dkk, Ensiklopedi Hukum Islam Muhammad Abduh, (Jakarta : PT. Ichtiar Baru van Hoeve, 2001)
Muhaimin, Pemikiran dan Aktualisasi Perkembangan Pendidikan Islam, (Jakarta : PT. RajaGrafindo Presada, 2011)
Nasution, Harun, Pembaharuan Dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan,(Jakarta : Bulan Bintang , 1992).
Ramayulis dan Samsul Nizar, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam, (Ciputat: PT. Ciputat Press Group, 2005).



[1] Harun nasution, PEMBAHARUAN DALAM ISLAM Sejarah Pemikiran dan Gerakan,(Jakarta : Bulan Bintang , 1992), cet. 9, hlm. 12.
[2] Muhaimin, Pemikiran dan Aktualisasi Perkembangan Pendidikan Islam, (Jakarta : PT. RajaGrafindo Presada, 2011), cet. 1, hlm. 19.
[3] Ibid., hlm. 20.
[4] Ibid., hlm. 22.
[5] Harun Nasution, Pembaharuan Islam…., hlm. 58.
[6] Hanafi, Pengantar Teologi Islam, (Jakarta : PT. Pustaka Al Husna Baru, 2003), cet. 8, hlm. 199.
[7] Ibid.
[8] Junainah, seorang wanita terpandang dikalangan familinya, sebagaimana menurut riwayat Junainah berasal dari bangsa Arab yang silsilah garis keturunannya sampai ke suku bangsa Umar Ibnu Al-Khattab. (Harun Nasution, Pembaharuan Islam...., hlm. 59.)
[9] Ensiklopedi Hukum Islam, Muhammad Abduh, (Jakarta : PT. Ichtiar Baru van Hoeve, 2001), cet. 5, hlm. 1.
[10] Harun Nasution, Pembaharuan Islam…., hlm. 59.
[11] Harun Nasution, Pembaharuan Islam…., hlm. 60.
[12] Ibid., hlm. 61.
[13] Hanafi, Pengantar Teologi Islam…., hlm. 200.
[14] Ibid.
[15] Pemerintahan yang di bawah kepemimpinan Taufiq Pasya(anak dari Khediv Isma’l), lihat Ensiklopedi Hukum Islam, Muhammad Abduh…, hlm. 2.
[16] Harun Nasution, Pembaharuan Islam…., hlm. 61.
[17] Ibid.
[18] Ensiklopedi Hukum Islam, Muhammad Abduh…, hlm. 2.
[19] Harun Nasution, Pembaharuan Islam…., hlm. 62.
[20] Ibid.
[21]  Kata jumud terkandung arti keadaan membeku, tidak ada perubahan, sehingga umat Islam tidak menghendaki perubahan dan tidak mau menerima perubahan (berpegang teguh pada tradisi).
[22] Hanafi, Pengantar Teologi Islam…., hlm. 205.
[23] Ibid.
[24] Ibid., hlm. 206.
[25] Harun Nasution, Pembaharuan Islam…., hlm. 68.
[26] Hanafi, Pengantar Teologi Islam…., hlm. 208-209.
[27] Ibid., hlm. 211-212.
[28] Ibid., hlm. 213.
[29] Ibid.
[30] Ibid., hlm. 214.
[31] Ibid., hlm. 217.
[32] Ibid.
[33] Ramayulis Dan Samsul Nizar, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam, (Ciputat: PT. Ciputat Press Group, 2005), cet. I, hlm. 44.
[34] Latief Is Persie, http://latiefpersie.blogspot.com/2012/04/makalah-ilmu-kalam-muhammad-abduh.html, diakses pada 07/09/2014, pukul 18:46 wib.
[35] Ibid.
[36] Ibid.
[37] Ramayulis Dan Samsul Nizar, Ensiklopedi Tokoh…., hlm. 53.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar