BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Preiode modern merupakan zaman kebangkitan Islam, lebih tepatnya
setelah berakhirnya Ekspedisi Napolion (1801 M.). Kejadian ini telah membuka
mata dunia umat Islam, terutama umat Islam di Turki dan Mesir yang sudah lama
mengalami kemunduran dan kelemahan umat Islam dibandingkan dengan kemajuan dan
kekuatan dari barat. Dimasa ini raja-raja dan pemuka-pemuka muslim mulai
berfikir dan mencari jalan untuk mengembalikan balance of pawer yang telah
pincang dan membahayakan keberadaan Islam dimasa itu. Kita ketahui dimasa
Rasulullah dan para sahabatnya (periode kelasik) dimana Dunia Islam sedang naik
dan Dunia Barat sedang dalam kegelapan.
Datangnya periode modern
ini para raja dan dan pemuka-pemuka Islam mulai berfikir dan mencari cara
bagaimana mengembalikan keeksistensian Islam dan membuat Umat Islam maju
kembali seperti dimasa kelasik. Usaha-usaha kearah ini pun mulai dijalankan
dalam kalangan Umat Islam dan tidak bisa dipungkiri juga Dunia Barat terus
bertambah kemajuannya.
B.
Pemikiran
Islam Sebelum Priode Modern
Harun Nasution dalam
bukunya menyatakan, secara garis besar, sejarah Islam dapat dibagi menjadi tiga
periode, yaitu: Periode Klasik (650-1250 M), Periode Pertengahan (1250-1800 M)
dan Periode Modern (1800 M s.d. sekarang).[1]
1. Periode Klasik(650-1250 M)
Dalam perjalanan sejarahnya, pada Periode Klasik
menggambarkan masa kejayaan dan keemasan, baik itu dari segi wilayah, ilmu
pengetahuan dan kebudayaan, serta pada zaman ini juga lahir ulama-ulama besar.
Pada zaman klasik, para ulama melakukan gerakan ilmiah atau
keilmuan dalam lingkup pada ilmu pengetahuan, diantaranya :
a. Melaksanakan ajaran Al-Qura’an untuk
banyak menggunakan akal.
b. Melaksanakan ajaran hadis untuk
menuntut ilmu bukan hanya ”ilmu agama”
tetapi juga ilmu non agama.
c. Mengembangkan ilmu agama dengan berijtihad (menghasilkan ulama fikih,
tauhid, tafsir, hadis) dan mengembangkan ilmu pengetahuan atau sains
(menghasilkan ilmu kedokteran, matematika, kimia, fisika, geografi, dll).[2]
2. Periode Pertengahan(1250-1800 M)
Gerakan ilmiah atau keilmuan dari para ulama pada masa ini
menurun drastis, ini di sebabkan :
a. Para ulama tidak lagi melakukan ijtihad.
b. Menganggap pemakaian akal yang dianjurkan
Al-Qur’an telah lewat masanya.
c. Menerima apa saja yang dihasilkan
oleh ulama klasik.
d. Sudah banyak bergantung pada
kesultanan.
e. Pengetahuannya terbatas pada ilmu
agama saja.[3]
3.
Periode Modern(1800 M s.d. sekarang)
Pada masa ini, kerajaan Turki Usmani(adikuasa pertengahan)
mengalami kekalahan dalam peperangan di Eropa dan gebrakan yang dilakukan Napoleon dalam penaklukan
Mesir hanya dibutuhkan tiga minggu.[4]
C.
Sub
Pembahasan
Pemakalah
dalam kesempatan ini akan memaparkan pemikiran ulama modern. Untuk mempermudah
dalam pemahaman dari pemikiran ulama modern, pemakalah mengambil dari salahsatu
tokoh ulama modern, yaitu Muhammad Abduh, adapun sub pembahsannya adalah :
1. Bagaimana
riwayat hidup tentang Muhammad Abduh.
2. Bagaimana
pemikiran kalam Muhammad Abduh.
3. Bagaimana
pengaruh pemikiran Muhammad Abduh.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Riwayat
Hidup Muhammad Abduh
Muhammad Abduh lahir pada
tahun 1849 M, di suatu desa di Mesir Hilir.[5] Muhammad Abduh
termasuk keluarga petani sedang,
ia memiliki 40 feddan(bahu).[6]
Ayahnya bernama Abduh Hasan
Chairullah, kampung Nasr,
daerah Subrakhit, dari propinsi Buhairah (Mesir bawah).[7]
Menurut riwayat, karena tindakan-tindakan penguasa negerinya, Abduh Hasan
Chairullah meninggalkan kampung halamannya dan menuju propinsi Gharbiah, disana
bertemu dengan Junainah[8]
lalu menikah, dari pernikahan ini lahirlah Muhammad Abduh.
Muhammad Abduh pada usia dini sudah belajar menulis dan
membaca, dalam kurun waktu dua tahun ia telah hafal Al-Qur’an yang pada masa
itu beliau berusia 12 tahun, kemudian pada tahun 1862 M. ia melanjutkan
pendidikannya ke Tanta di Masjid Syekh Ahmadi.[9] Selama
dua tahun Abduh belajar bahasa arab, nahu, sarf, fiqih dll, akantetapi Abduh
menyatakan dalam buku Pembaharuan Dalam Islam mengatakan :
“Satu setengah
tahun saya belajar di Masjid Syekh Ahmad dengan tidak mengerti suatu apapun,
ini adalah karena metodenya yang salah, guru-guru mulai mengajak kita dengan
menghafal istilah-istilah tentang nahu atau fiqh yang tidak kita ketahui
artinya dan guru-guru tidak merasa penting apakah kita mengerti atau tidak arti
istilah-istilah itu.”[10]
Metode yang diterapkan pada masa itu adalah metode menghafal
luar kepala. Karena tidak puas dengan metode ini Abduh meninggalkan
pendidikannya dan pergi ketempat salahsatu pamannya, tetapi karena
dorongan dari paman ayahnya Syekh Darwis Khadar, Muhammad Abduh melanjutkan pendidikan hingga selesai pelajarannya di
Thanta.[11] Pada tahun berikutnya ia
melanjutkan pendidikannya ke Al-Azhar pada tahun 1866 M. dan bertemu dengan Jamaluddin
Al-Afghani tahun 1869 M., pada tahun 1871 M, Abduh berhubungan dengan Jamaluddin al-Afghani, untuk
kemudian menjadi muridnya yang setia.[12]
Karena pengaruh
gurunya, ia terjun ke dalam bidang kewartawanan(surat kabar) tahun 1876 M.[13]
Setelah selesai
pendidikan di Al-Azhar, dengan
mendapat ijazah
“Alimiyyah” ia diangkat
menjadi guru di Darul ‘Ulum.[14]
Akan tetapi tahun 1879 M. Al-Afghani dituduh melakukan gerakan menentang
Khedewi Tawfik[15] dan
Abduh dipandang ikut terlibat, ia dibebaskan dari jabatannya itu dan dikirim ke
kampung halamannya, sedangkan Jalaluddin sendiri di usir dari Mesir.[16]
Pada tahun 1880 M. Abduh dipanggil kembali ke kota dan kemudian
diangkat menjadi redaktur surat kabar resmi pemerintah Mesir “al- Waqai’
ul-Misriyah” (peristiwa-peristiwa
di Mesir).[17]
Akibat pemberontakan Urabi Pasya (pemimpin perwira militer dan golongan nasionalisme Mesir) telah
mengakhiri kegiatan Syekh Muahmmad Abduh, karena dalam gerakan ini Abduh ikut berperan sebagai penasehat dan pada akhir
tahun (1882 M). Abduh diasingkan ke luar negri.[18]
Pada awalnya Abduh pergi ke Beirut kemudian
pada awal tahun 1884 M, ia pergi ke Perancis dan disana ia bertemu lagi dengan
Jamaluddin al-Afghani
dan di sini mereka membangun kembali sebuah organisasi yang kemudian
menerbitkan majalah Al-Urwah Al-Wusqa.[19]
Pada tahun 1885 M, Abduh pergi kembali ke Bairut dan
mengajar di sana
dan pada tahun 1888 M. atas usaha teman-temannya Abduh diperbolehkan kembali ke
Mesir dan dipekerjakan jadi hakim, pada tahun 1894 M. Abduh diangkat menjadi
anggota Majlis A’la dari Al-Azhar dan pada tahun 1899 M. ia diangkat sebagai
Mufti Mesir hingga beliau meninggal(tahun 1905 M.).[20]
B.
Pemikiran Muhammad Abduh
Walaupun pada saat itu Abduh diserang oleh
orang-orang yang memandang bahwa pembaharuan dan pendapat-pendapatnya
membahayakan kaum Muslim (penentangan yang dilakukan sebelum pembaharuan dilaksanakan), Abduh tetap teguh akan
pendiriannya dan beralasan bahwa sebab kemunduran Islam adalah umat Islam masih
mengadopsi faham jumud,[21]
Abduh juga berkeyakinan kuat bahwa apabila al-Azhar diperbaiki,
kondisi kaum Muslimin akan membaik. Menurutnya, apabila Al-Azhar ingin
diperbaiki, pembenahan administrasi dan pendidikan di dalamnya juga harus
dibenahi, kurikulum diperluas, sehingga al-Azhar bisa berdiri sejajar dengan
universitas-universitas lain di Eropa dan menjadi pelita bagi kaum Muslimin
pada zaman modern.
Adapun pemikiran pembaharuan Muhammad
Abduh, sebagaimana ditulis oleh Harun Nasution dalam bukunya bahwa ada empat
segi-segi yang pokok dalam pemikiran pembaharuan Muhammad Abduh, yaitu : 1). Segi
Politik dan Ketanah Airan, 2). Kemasyarakatan, 3). Aqidah dan 4). Pendidikan
dan Bimbingan Umum.[22]
1.
Segi Ketanah Airan dan Politik
a.
Arti Tanah Air
Muhammad Abduh
menggariskan kedudukan tanah air dengan adanya hubungan erat dari seseorang
warga negara dengan tanah airnya. Ada tiga hal yang mengharuskan seseorang
cinta dan
mempertahankan tanah airnya, yaitu sebagai berikut :
1) Sebagai tempat kediaman yang memberikan makanan,
perlindungan, dan tempat tinggal keluarga dan sanak saudara.
2) Sebagai tempat memperoleh hak-hak dan kewajiban-kewajiban
yang kedua-duanya menjadi poros (dasar) kehidupan politik.
3) Tempat mempertalikan diri dimana seseorang akan merasa
bangga atau terhina karenannya.[23]
b.
Politik(Prinsip Demokrasi dan
Pemerintahan)
Sejarah Islam
menjadi bukti, betapa kuatnya demokrasi yang dipegang oleh kaum muslimin pada
masa-masa pertama Islam, sebagaimana yang dilakukan oleh Khalifah
Umar ra. dan kaumnya,
ketika ia berkata di hadapan mereka :
Umar
berkata : “wahai kaum
muslimin, barang siapa melihat suatu penyelewengan dari diriku, hendaklah ia
meluruskannya”. Maka berdirilah seorang dari mereka seraya berkata : “Demi Tuhan, kalau kami dapati pada diri Tuan suatu penyelewaengan,
maka kami akan luruskan dengan pedang kami”. Berkatalah Umar ra : “Alhamdulillah, Tuhan telah menjadikan
diantara kaum muslimin orang yang sanggup melurudkan penyelewengan Umar dengan
pedangnya”.[24]
Muhammad Abduh berasumsi, kalau prinsip
demokrasi menjadi kewajiban bagi rakyat dan penguasa, maka kewajiban pemerintah
terhadap rakyat ialah memberi kesempatan seluas-luasnya bagi rakyat untuk bekerja
dengan bebas dan dengan cara yang benar. Begitu
pula bagi rakyat, rakyat harus patuh dan setia pada pemerintah, sebab kemajuan atau
kemunduran suatu Negara tergantung peran antara pemerintah dengan rakyatnya.[25]
2.
Segi Kemasyarakatan
Dalam segi kemasyarakatan ia membicarakan dua hal, yaitu:
a.
Jiwa Bersama.
Menurut Abduh, jiwa bersama dalam suatu
umat harus diperkuat, sebaliknya jiwa individualisme harus dikikis habis, jalannya tidak
lain hanyalah pendidikan yang didasarkan atas ajaran-ajaran Islam, sebagai pendidikan yang
benar, ini dikarnakan penyebab kelemahan
umat tidak lain karena kemiskinan(kelemahan) jiwa manusia yang rasa keangkuhan (egoisme)
yang merajalela dan rusaknya arti bersama pada jiwa seseorang serta bimbingan
yang salah terhadap akal pikiran bukan karena tanah Mesir atau langitnya, bukan
pula tabiat alam(geografi).[26]
b.
Kelemahan-Kelemahan
Masyarakat Mesir
Muhammad Abduh membicarakan
kelemahan-kelemahan masyarakat Mesir, yang sedikit banyaknya menjadi kelemahan
masyrakat Islam dunia timur. Ada lima
kesalahan-kesalahan masyarakat Mesir, yaitu
:
1) Pembicaraa-pembicaraan masyarakat Mesir menjadi tanda
adanya salah pengertian terhadap hidup, tidak ada kesungguhan karena salah pendidikan dan
tidak ada perhatian terhadap akhlak.
2) Perkawinan dipandang oleh Muhammad Abduh suatu keharusan
sosial, pilihan dalam pernikahan sesuai tabiat
manusia, sebagai makhluk yang berfikir, yang mempunyai kecondongan naluri untuk
mengadakan kerja sama dengan orang yang disukainya.
3) Ia juga menyebutkan tentang bid’ah-bid’ah dan sampai
dimana bid’ah ini menunjukan penyelewengan dalam akidah. Diantaranya adalah
ziarah ke kubur wali-wali.
4) Ia mencela keras main suap (risywah) yang dipandangnya
sebagai tanda kemerosotan akhlak dan kehilangan rasa akan kewajiban.
5) Acuh tak acuh terhadap kepentingan umum juga mejadi noda
masyarakat Mesir dan masyarakat Islam pada umumnya.[27]
3.
Segi Akidah.
Dua hal yang di paparkann dalam sesi ini, yaitu:
a) Akidah Jabariah
Muhammad Abduh memandang pengabdian
diri secara mutlak terhadap madzhab-madzhab dan kitab-kitab yang sekarang pada
masa-masa akhir Islam tidak saja bertalian dengan lemah kepribadian keilmuan
pada masanya dan tidak sejalan dengan kepribadian Islam yang pertama dalam
langkah-langakah positif dan baik terhadap Al-Qur’an dan As-Sunnah, tetapi juga
berhubungan erat dengan akidah/paham Jabar.[28]
Akidah Jabar pada
hakikatnya hanya bisa hidup atas penghapusan kepribadian dan wujud diri sendiri, meskipun seharusnya
penghapusan ini hanya terjadi dalam hubungan dengan Tuhan saja, tetapi karena
kelemahan pribadinya ia menganggap bahwa penghapusan tersebut juga berlaku
dalam hubungannya dengan sesama makhluk. Akibatnya bukan saja seseorang merasa
lemah di depan Tuhan, tetapi juga lemah di depan orang lain.[29]
Muhammad Abduh tidak puas kalau
kepercayaan seorang mukmin adalah kepercayaan Jabar, sebab kepercayaan ini
sudah barang tentu akan mengakibatkan kelemahan manusia dan menyebabkan ia
kehilangan daya kreasi dan posisi dalam hidupnya. Karena itu Muhammad Abduh
menentang paham Jabar dan menyerukan paham Ikhtiar, agar seorang Muslim menjadi
orang yang kreatif.[30]
b) Hubungan Akal dengan
Wahyu.
Pendapat Muhammad Abduh sama dengan
pendapat Ibnu Rusyd dan dengan pendapat Ibnu Taimiah, yaitu :
bahwa wahyu mesti sesuai dengan akal.[31]
Pendapat ini sebagaimana dikutip dari buku Hanafi, sebagai berikut :
“Al-Qur’an memerintahkan kita untuk berfikir dan
menggunakan akal pikiran tentang gejala-gejala alam yang ada di depan kita dan
rahasia-rahasia alam yang mungkin ditembus, untuk memperoleh keyakinan tentang
apa yang ditunjukan Tuhan kepada kita. Al-Qur’an melarang kita bertaqlid,
sewaktu menceritakan tentang umat-umat yang terdahulu yang dicela karena mereka
merasa cukup mengikuti nenek moyangnya. Taqlid adalah sesuatu kesesatan yang
dapat dimengerti kala terdapat pada hewan, akan tetapi tidak pantas sama sekali
pada manusia.”[32]
4.
Segi Pendidikan dan bimbingan Umum
Sebagai seorang
pembaharu (modernis). Ide dan pemikiran Muhammad Abduh mencakup dalam
berbagai bidang. Menurut al-Bahiy, pemikiran Abduh meliputi ; segi politik dan
kebangsaan, sosial kemasyarakatan, pendidikan, serta akidah dan keyakinan, tetapi
walaupun pemikirannya mencakup berbagai segi, namun bila diteliti dalam
menggagas ide-ide pembaharuannya, Abduh lebih menitikberatkan pada bidang
pendidikan.[33]
Di antara
pemikirannya tentang pendidikan dapat dilihat pada penjelasan dan history
sebgai berikut :
a. Sistem dan Struktur Lembaga Pendidikan.
Dalam pandangan Abduh, ia melihat bahwa
semenjak masa kemunduran Islam, sistem pendidikan yang berlaku di dunia Islam
lebih bercorak dualisme. Bila diteliti secara seksama, corak pendidikan yang
demikian lebih banyak dampak negatif dalam dunia pendidikan.[34]
b. Kurikulum Sekolah Dasar.
Ia beranggapan bahwa dasar pembentukan
jiwa agama hendaknya sudah dimulai semenjak kanak-kanak. Oleh krena itu, mata
pelajaran hendaknya dijadikan sebagai intu semua mata pelajaran.[35]
c. Kurikulum Sekolah Menengah dan Sekolah Kejuruan.
Ia mendirikan sekolah menengah
pemerintah untuk menghasilkan tenaga ahli dalam berbagai bidang administrasi,
militer, kesehatan, perindustrian dan sebagainya. Melalui lembaga pendidikan
ini, Muhammad Abduh merasa perlu untuk memasukan beberapa materi, khususnya
pendidikan agama, sejarah Islaml, dan kebudayaan Islam.[36]
C.
Pengaruh Muhammad
Abduh Di Dunia Islam
Pendapat Muhammad Abduh tersebut di
Mesir sendiri mendapat sambutan dari sejumlah tokoh pembaharu. Murid-muridnya
seperti Muhammad Rasyid Ridha meneruskan gagasan tersebut melalui majalah al-Manar
dan Tafsir al-Manar. Kemudian Kasim Amin dengan bukunya Tahrr
al-Mar’ah, farid wajdi dengan bukunya Dairat al-Ma’arif, Syekh
Thahtawi Jauhari melalui karangannya Al-Taj al-Marshuh bi al-Jawahir
al-Qur’an wan al-Ulum.[37]
Pemikiran Muhammad Abduh tentang
pendidikan dinilai sebagai awal dari kebangkitan umat Islam awal abad ke-20. Pemikiran
Muhammad Abduh yang disebarluaskan melalui tulisannya di majalah Al-Manar dan
al-Urwat al-Wustqa menjadi rujukan para tokoh pembaharu dalam dunia Islam,
hingga diberbagai negara Islam muncul gagasan mendirikan sekolah-sekolah dengan
menggunakan kurikulum seperti yang dirintis Muhammad Abduh.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan uraian diatas kami dapat menyimpulkan bahwa, Syekh Muhammad
Abduh adalah salah satu orang yang memberikan penghargaan tinggi pada kekuatan
akal. Meskipun demikian, ia tetap memandang penting fungsi wahyu bagi akal.
Konsep teologi yang demikian itu berakibat pada keyakin, ia
berkeyakinan bahwa manusia itu mempunyai
kebebasan berfikir dan berbuat. Salah satu buktinya, dia menentang keras
terhadap taklid. Kemudian Muhammad Abduh juga mempunyai ide-ide yang brilian
dalam bidang pendidikan. Ia menginginkan adanya perubahan terhadap pendidikan
demi kemajuan umat Islam. Usaha kerasnya untuk merealisasikan idenya itu, tak
jarang menemui tantangan dari umat Islam itu sendiri. Ini juga terbukti yakni
terjadinya perubahan kurikulum yang mana Muhammad Abduh memasukan Ilmu-Ilmu
Barat, yaitu Ilmu Filsafat, logika dan juga Ilmu Pengetahuan Modern.
Bukan hanya itu, Muhammad Abduh adalah orang yang menentang tentang
keyakinan Jabariah, yaitu hanya merasa lemah, baik kepada Tuhan ataupun orang
lain. Karena menurutnya bahwa kita manusia harus berikhtiar, harus mempunyai
jiwa kreatif.
Dengan demikian, sikap rasional yang digagas Muhammad Abduh sangat diperlukan untuk kemajuan Islam, sebagaimana kemajuan
yang telah terjadi di masa lampau.
mudah-mudahan bahasan ini ada manfaatnya bagi para pembaca...
DAFTAR PUSTAKA
Hanafi, Pengantar Teologi Islam, (Jakarta : PT. Pustaka Al Husna Baru,
2003)
Haruen,
Nasrun, Abdul Azis Dahlan, dkk, Ensiklopedi
Hukum Islam Muhammad Abduh,
(Jakarta : PT. Ichtiar Baru van Hoeve, 2001)
Muhaimin,
Pemikiran dan Aktualisasi Perkembangan
Pendidikan Islam, (Jakarta : PT. RajaGrafindo Presada, 2011)
Nasution,
Harun, Pembaharuan Dalam Islam Sejarah
Pemikiran dan Gerakan,(Jakarta : Bulan Bintang , 1992).
Persie, Latief Is, http://latiefpersie.blogspot.com/2012/04/makalah-ilmu-kalam-muhammad-abduh.html, diakses pada 07/09/2014.
Ramayulis dan
Samsul Nizar, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam, (Ciputat: PT. Ciputat
Press Group, 2005).
[1] Harun nasution, PEMBAHARUAN DALAM ISLAM Sejarah Pemikiran
dan Gerakan,(Jakarta : Bulan Bintang , 1992), cet. 9, hlm. 12.
[2] Muhaimin, Pemikiran dan Aktualisasi Perkembangan Pendidikan Islam, (Jakarta :
PT. RajaGrafindo Presada, 2011), cet. 1, hlm. 19.
[3] Ibid., hlm. 20.
[4] Ibid., hlm. 22.
[5] Harun Nasution, Pembaharuan Islam…., hlm. 58.
[6] Hanafi, Pengantar Teologi Islam, (Jakarta : PT. Pustaka Al Husna Baru,
2003), cet. 8, hlm. 199.
[7] Ibid.
[8] Junainah, seorang wanita terpandang dikalangan
familinya, sebagaimana menurut riwayat Junainah berasal
dari bangsa Arab yang silsilah garis keturunannya sampai ke suku bangsa Umar
Ibnu Al-Khattab. (Harun
Nasution, Pembaharuan Islam...., hlm.
59.)
[9] Ensiklopedi Hukum Islam, Muhammad Abduh, (Jakarta : PT. Ichtiar
Baru van Hoeve, 2001), cet. 5, hlm. 1.
[10] Harun Nasution, Pembaharuan Islam…., hlm. 59.
[11] Harun Nasution, Pembaharuan Islam…., hlm. 60.
[12] Ibid., hlm. 61.
[13] Hanafi, Pengantar Teologi Islam…., hlm. 200.
[14] Ibid.
[15] Pemerintahan yang di bawah
kepemimpinan Taufiq Pasya(anak dari Khediv Isma’l), lihat Ensiklopedi Hukum
Islam, Muhammad Abduh…, hlm. 2.
[16] Harun Nasution, Pembaharuan Islam…., hlm. 61.
[17] Ibid.
[18] Ensiklopedi Hukum Islam, Muhammad Abduh…, hlm. 2.
[19] Harun Nasution, Pembaharuan Islam…., hlm. 62.
[20] Ibid.
[21]
Kata jumud
terkandung arti keadaan membeku, tidak ada perubahan, sehingga umat Islam tidak
menghendaki perubahan dan tidak mau menerima perubahan (berpegang teguh pada
tradisi).
[22] Hanafi, Pengantar Teologi Islam…., hlm. 205.
[23] Ibid.
[24] Ibid., hlm. 206.
[25] Harun Nasution, Pembaharuan Islam…., hlm. 68.
[26] Hanafi, Pengantar Teologi Islam…., hlm. 208-209.
[27] Ibid., hlm. 211-212.
[28] Ibid., hlm. 213.
[29] Ibid.
[30] Ibid., hlm. 214.
[31] Ibid., hlm. 217.
[32] Ibid.
[33] Ramayulis Dan Samsul Nizar, Ensiklopedi Tokoh
Pendidikan Islam, (Ciputat: PT. Ciputat Press Group, 2005), cet. I,
hlm. 44.
[34] Latief Is Persie, http://latiefpersie.blogspot.com/2012/04/makalah-ilmu-kalam-muhammad-abduh.html, diakses pada 07/09/2014, pukul 18:46 wib.
[35] Ibid.
[36] Ibid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar